Langsung ke konten utama

Babak Baru Wabah Virus Nipah Melanda China yang Tingkat Kematiannya Mencapai 75 Persen

 JURNAL PRESISI - Jayasree K. Iyer, direktur eksekutif Access to Medicine Foundation, sebuah nirlaba di Belanda, menyoroti wabah virus Nipah yang terjadi di China.

“Virus Nipah adalah penyakit menular lain yang muncul dan menimbulkan kekhawatiran besar. Nipah bisa meledak kapan saja. Pandemi berikutnya bisa jadi infeksi yang resistan terhadap obat," kata dia.
 
 
WHO mencatat Virus Nipah masuk dalam daftar salah satu dari 10 penyakit menular dari jenis 16 penyakit menular. 
 
Virus ini memiliki risiko kesehatan terbesar masyarakat, bersama dengan Mers dan Sars.

Sedanglan pembawa virus ini disinyalir berasal dari Kelelawar buah. Binatang ini dituding menjadi inang alami dari virustersebut.
 
Baca Juga: Begini Himbauan Terbaru WHO untuk Pengobatan Pasien Covid-19

Masa inkubasi penyakit ini bisa mencapai 45 hari dalam satu kasus, dapat memberikan banyak kesempatan bagi inang yang terinfeksi, bahkan mereka yang tidak sadar tengah tertular, untuk menyebarkannya.

Virus ini juga dapat menginfeksi berbagai macam hewan, membuat kemungkinan penyebarannya lebih mungkin terjadi. Penularan virus ini juga bisa melalui kontak langsung atau dengan mengonsumsi makanan yang terkontaminasi.

Penderita virus Nipah mungkin akan mengalami gejala pernapasan termasuk batuk, sakit tenggorokan, kelelahan, dan ensefalitis, pembengkakan otak yang dapat menyebabkan kejang hingga kematian.
 
Baca Juga: Ungkap Covid Baru, NERVTAG: Varian Corona B.1.1.7 yang Resiko Kematiannya 30 Persen dan Penyebaran 70 Persen

Bangladesh dan India adalah negara yang pernah mengalami wabah virus Nipah di masa lalu, yang kemungkinan penyebabnya terkait dengan konsumsi jus kurma.

Dari 11 wabah virus Nipah di Bangladesh dari tahun 2001 hingga 2011, tercatat ada 196 orang terdeteksi dengan 150 jiwa di antaranya meninggal dunia.

Veasna Duong, kepala unit virologi di laboratorium penelitian ilmiah Institut Pasteur Phnom Penh, Kamboja, mengatakan bahwa jus kurma juga sangat populer di negaranya.

 
Duong dan timnya telah menemukan bahwa kelelawar buah di Kamboja dapat terbang jauh - hingga 100 km setiap malam - untuk mencari buah.

Itu berarti penduduk di wilayah tersebut perlu khawatir, tidak hanya tentang terlalu dekat dengan kelelawar, tetapi juga khawatir mengonsumsi produk yang mungkin telah terkontaminasi oleh kelelawar yang terinfeksi virus Nipah.

Duong dan timnya juga telah mengidentifikasi situasi berisiko tinggi lainnya, yaitu kotoran kelelawar (disebut guano) menjadi pupuk yang populer di Kamboja dan Thailand dan di daerah pedesaan dengan sedikit kesempatan kerja.
 
Baca Juga: Pejabat Kremlin Mengecam Sikap Amerika yang Mendukung Demonstran yang Pro Pimpinan Oposisi Rusia

Bagi penduduk di sana menjual kotoran kelelawar dapat menjadi cara yang vital untuk mencari nafkah. Duong mengidentifikasi banyak lokasi di mana penduduk setempat mendorong kelelawar buah, yang juga dikenal sebagai rubah terbang, untuk bertengger di dekat rumah mereka sehingga mereka dapat mengumpulkan dan menjual guano mereka.

Sayangnya banyak pemanen guano tidak tahu resiko apa yang mereka hadapi saat melakukannya.
 
"Enam puluh persen orang yang kami wawancarai tidak tahu bahwa kelelawar menularkan penyakit. Masih kurangnya pengetahuan di masyarakat," kata Duong

 
Duong meyakini bahwa dengan memberikan edukasi kepada penduduk setempat tentang ancaman yang dibawakan oleh kelelawar pembawa penyakit ini harus menjadi inisiatif utama.

Selain itu, perusakan habitat kelelawar juga telah menyebabkan penyebaran infeksi virus Nipah di masa lalu. Pada tahun 1998, wabah virus Nipah di Malaysia menewaskan lebih dari 100 orang.

Para peneliti menyimpulkan bahwa kebakaran hutan dan kekeringan setempat telah mengusir kelelawar dari habitat aslinya dan memaksa mereka menuju pohon buah yang tumbuh di peternakan yang memelihara babi.
 
 
Kelelawar terbukti melepaskan lebih banyak virus. Kombinasi antara dipaksa untuk pindah habitat dan berada dalam kontak dekat dengan spesies yang biasanya tidak berinteraksi dengan mereka memungkinkan virus untuk berpindah dari kelelawar ke babi, dan seterusnya ke peternak.

Kelelawar buah cenderung hidup di kawasan hutan lebat dengan banyak banyak pohon buah-buahan untuk mereka makan.
 
Prilaku kelelawar bisa berubah saat habitat mereka dihancurkan atau dirusak, mereka menemukan solusi baru seperti bertengger di rumah, ataupun di menara seperti yang terjadi di Angkor Wat.
 
Baca Juga: 24 Juta Kasus Virus Corona dan 400.000 Kematian Dibukukan AS, Jadi Sorotan Media

"Perusakan habitat kelelawar dan gangguan manusia melalui perburuan mendorong mereka untuk mencari tempat bertengger alternatif," ujar Duong.

Namun haruskah kita membasmi kelelawar tersebut? Tidak, kecuali kita ingin memperburuk keadaan, kata Tracey Goldstein, direktur laboratorium One Health Institute dan direktur lab Predict Project.

Dia menilai kelelawar memiliki peranan ekologis yang sangat penting. Mereka menyerbuki lebih dari 500 spesies tanaman. Mereka juga membantu mengendalikan serangga memainkan peran yang sangat penting dalam pengendalian penyakit pada manusia, misalnya, mengurangi malaria dengan memakan nyamuk. Itu akan membuat (manusia) lebih rentan. Dengan membunuh hewan, Anda meningkatkan risiko, karena Anda meningkatkan jumlah hewan yang menyebarkan virus," kata Goldstein.
 

Akhirnya para peneliti dan pemerintah di seluruh dunia pun sepakat bahwa virus Nipah sangat berbahaya. Disamping itu juga memiliki potensi ancaman bioterorisme dan hanya segelintir, laboratorium di seluruh dunia yang diizinkan untuk membudidayakan, menumbuhkan dan menyimpannya.***

Hendro Pylrayitno

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Awas! Potensi Gempa Magnitudo 9.1 dan Tsunami Raksasa Ancam Wilayah Ini, Simak Penjelasan BNPB

Fadli Zon Beberkan Maksud Jahat China di Laut China Selatan, Begini Hipotesisnya !

Terungkap! Dokumen Otentik Ahli Waris Tanah di Bojong Koneng dan Simak Kejutan Lieus Sungkarisma buat Rocky Gerung